Langsung ke konten utama

I can't run away

 

Seorang laki-laki memencet pin di pintu apartemen Wicakra, suara pintu yang dibuka dari luar sama sekali tidak mengganggu orang yang berada di dalam, laki-laki itu masih sibuk berkutat dengan laptop yang menyala di depannya karena ia tahu siapa yang akan masuk. Dan benar saja, suara yang sangat ia kenal memenuhi ruangan, bahkan ia tidak perlu memalingkan wajah untuk mengetahui siapa yang datang.

Mandala memperhatikan apartemen Cakra dengan seksama, tidak ada yang berubah, semua barang dan pajangan tertata rapi, sebuah pigura besar berisi potret keluarga Cakra masih tertempel di dinding, Cakra bersama kedua orang tua dan adiknya. Ruangan bergaya minimalis itu lenggang, tidak berisi banyak barang, hanya rak buku di sisi kiri dan sofa di tengah ruangan, lalu ada dapur kecil di sebelah kanan.

“Lagi nugas?”

“Ngga juga, cuma lihat rangkaian acara citra nanti malem.”

Mandala yang baru saja datang membawa kresek putih ikut duduk di atas karpet bulu menghadap meja, ia berhenti melihat-lihat kondisi ruangan Cakra, di sana ada sofa yang terlihat lebih nyaman, tapi mereka berdua lebih memilih duduk di lantai. Ketika mandala sibuk membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman, Cakra menutup laptop dan memindahkan ke sofa. Mandala membuka makanan yang ia bawa, sesuai yang sudah ia janjikan tadi, ia membawa dua porsi bubur ayam.

Ketika Mandala sedang fokus pada makanannya, Cakra bertanya, “lo nggak ada kelas?”

“Ada nanti jam 11, hari ini satu matkul doang.”

Cakra mengangguk lalu menerima uluran semangkuk bubur ayam dari tangan Mandala, “thanks,” ucapnya, yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Mandala.

“Kata Bang Joshua kemaren lo dateng ke Wonderia ya?”

Cakra tidak langsung menjawab, ia menelan makanannya terlebih dahulu, “iya, gue lihat lo tampil, tapi waktu gue samperin ke backstage lo ngga ada, kemana?”

“Oh itu, gue disuruh gantiin Fhaza bentar buat dokumentasiin acara, tiba-tiba itu anak bilang sakit perut.”

Cakra diam mendengarnya, ia fokus pada tiap suapan yang ia makan.

“Sorry ya, jadi ngga bisa ketemu, padahal lo udah bela-belain buat dateng.”

“Santai, gue jadi ketemu anak-anak juga.”

Setelah itu percakapan singkat mereka berdua terhenti, dua orang itu sama-sama fokus dengan makanan masing-masing. Selang beberapa menit makanan mereka berdua tandas, selesai dengan sumber tenaga pagi mereka.

Cakra dan Mandala menyandarkan punggungnya ke sofa, lalu mereka berdua sama-sama melihat langit-langit ruangan. Gerak-gerik mereka sempurna samanya, mungkin orang-orang yang belum mengenal mereka akan mengatakan bahwa mereka bersaudara. Mandala menolehkan kepalanya ke kiri, ia dihadapkan dengan pigura kecil yang berdiri di atas nakas berwarna putih gading di samping sofa, ia memandang sebuah foto yang dengan sempurnanya membuat ia terlempar ke masa lalu.

Reka adegan berlangsung singkat di kepalanya, Mandala mengambil pigura foto itu dan menatapnya lekat-lekat, di sana ada potret dirinya dan Cakra, dan juga seorang perempuan yang terapit tubuh besar keduanya. Cakra yang tadinya sedang memejamkan mata penasaran dengan apa yang Mandala lakukan karena ia merasakan gerakan kecil yang dilakukan oleh laki-laki di sebelahnya, setelah membuka mata, ia ikut menatap pigura foto di tangan Mandala.

“Udah jalan lima tahun, ya?” Cakra bersuara.

“Iya, udah selama itu, dan lo masih terjebak di tempat yang sama, aren’t you?”

Cakra tidak menjawab, tapi diam-diam ia mengiyakan kalimat Mandala.

“Perasaan lo sama dia, masih sama?”

“Jingga, Nda. Namanya Jingga.”

Mandala sedikit berdecak mendengarnya, “Iya Jingga, lo masih ada perasaan sama dia?”

Cakra menatap Mandala dalam diam, ia tahu pasti apa maksud tatapan itu, “Sama Jingga? Masih?”

“Masih, semua masih sama, Nda.”

Mereka sama-sama diam, di kepala masing-masing memutar ulang adegan yang sudah berlalu hampir lima tahun lamanya, mereka mengingat tiap-tiap bagiannya dengan sempurna, ingatan-ingatan itu menetap sempurna di kepala mereka, lalu disimpan dengan baik di hati.

Mandala masih marah dengan keputusan yang diambil sahabatnya itu, ia membenci Jingga yang memilih menyerah. Ia membenci dirinya sendiri karena tidak tahu-menahu tentang kehidupan kelam sahabatnya itu. Ia tidak suka menyebutkan nama Jingga karena ia merasa tidak pantas untuk itu.

Cakra melamun, melamunkan tawa ceria Jingga yang setiap hari terpancar, ia tersenyum mengingat betapa senangnya Jingga ketika bertemu kucing jalanan. Bahkan perempuan itu selalu membawa makanan kucing di tasnya. Sudut bibirnya kembali turun ketika ia mengingat sebuah fakta bahwa ia gagal menjaga tawa itu, ia gagal menjaga kekasihnya sendiri.

Dalam beberapa menit, ruangan dengan dua orang itu sepi, hanya terdengar suara detik jam dan nafas teratur dari keduanya, sampai salah satunya sadar dan kembali dari lamunannya sendiri.

“Udah jam sembilan kurang, lo ada kelas kan?”

Cakra tersentak dan refleks menatap jam dinding, “Iya, hampir aja gue telat.”

Laki-laki itu berdiri, masuk ke kamar lalu keluar dengan membawa sebuah tas ransel hitam dan dengan terburu-buru memasukkan laptopnya ke dalam tas.

“Gue anter.”

“Bukannya kelas lo jam sebelas nanti?”

“Dari pada gabut, udah yok!”

Mandala meletakkan pigura tadi ke tempatnya, lalu berdiri dan berjalan mendahului. Sampai di parkiran dan keduanya sudah duduk di dalam mobil, Mandala mulai berbicara ketika mereka sedang keluar dari parkiran bawah tanah apartemen Cakra, membicarakan alasan pentingnya mengajak Cakra sarapan bersama.

“Hari ini ulang tahun Jingga.”

Cakra mengangguk, “iya gue inget.”

“Gue udah pesen cake,” Cakra menambahkan.

“Mau jenguk Jingga kapan?”

“Sore ini lo free?”

“Free, mau sore ini aja?”

“Boleh.”

Mobil Mandala sudah memasuki parkiran fakultas Bahasa dan Seni, ia menghentikan mobilnya di depan gedung BSI. Sebelum Cakra keluar, ia menyempatkan untuk berkata, “nanti gue jemput.”

Cakra mengangguk, pintu mobil sudah terbuka, tapi tiba-tiba laki-laki itu diam.

“Kenapa?” Mandala bingung kenapa Cakra tiba-tiba diam.

Yang ditanyai menggeleng, “Ngga papa.”

“Thanks, buat tebengannya.” Setelah mendapat jempol dari Mandala, Cakra segera menutup pintu.

Cakra melamun ketika mobil Mandala sedang berputar balik, tadinya ia ingin mengatakan sesuatu. Ia ingin mengatakan bahwa lima tahun yang lalu, ia tahu bahwa Mandala menyukai Jingga, ia tahu bahwa Mandala mengalah pada dirinya, mengalah untuk mendapatkan Jingga. Ia tahu laki-laki itu berusaha menghapus perasaannya sendiri pada Jingga, dan karena itu terlalu sulit, Mandala mencoba mengubah rasa sayang dan sukanya pada Jingga menjadi kebencian. Cakra tahu bahwa Mandala berusaha membenci Jingga, dan berusaha membuat Jingga membencinya. Tapi kepura-puraan itu terlalu jelas, dan justru kebohongan itu yang memberi tahu Cakra, mana perasaan Mandala yang asli, dan mana perasaan Mandala yang palsu, yang di buat-buat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

light on me, perfume on you.

Keduanya sama-sama diam, jalanan beraspal kampus yang cukup luas hanya di isi oleh sepeda yang ditumpangi Wicakra. Sunyi dan sepi, kecuali beberapa serangga malam yang malu-malu bernyanyi dari balik pepohonan.  Menaiki sepeda mengikis jarak antar keduanya, bahkan wangi parfum Wicakra sampai memenuhi indra penciuman Divya saking dekatnya, wangi yang asing, kehangatan vanilla dan juga green tea, buah peach yang manis bercampur dengan wangi kayu cendana, wangi yang menurut Divya sangat cocok dengan Wicakra, seperti sedang berjalan-jalan di museum dan perpustakaan tua, Divya tebak pasti Wicakra adalah seseorang yang berkepribadian hangat, tapi itu hanya sebuah tebakan, bisa jadi tebakannya salah.  Ketika Divya dengan semua pikiran dan tebakannya tentang wewangian dan vibe museum dan perpustakaan tua, Wicakra sibuk mengulang pertanyaan yang sama karena yang ditanyai masih diam saja. "Divya?" Gadis itu tersentak, terlempar dari pikirannya sendiri, "ah, iya kak, kenapa?" &

Nice to meet you, Divya.

Sepertinya memilih untuk mengikuti ajakan Lina menonton konser band di kampus bukan pilihan yang tepat, dan sekarang Divya sibuk menyesali pilihan yang ia buat setengah jam lalu. Sebuah panggung tinggi berdiri megah di depan gedung sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni kampus mereka, lampu sorot warna-warni menghidupkan suasana, musik mengalun dengan spontan, mengisi tiap-tiap telinga dengan semangat dan mengajak tiap-tiap kaki untuk meloncat. Divya berdiri di pinggir, di bawah pohon kersen yang rindang, sedangkan Lina di tengah sana, sibuk menyanyi dan menari bersama teman-teman barunya.  Divya berdiri dan menatap sekitar, merasa kalau apa yang ia kenakan salah, sangat berbeda dengan apa yang dikenakan kebanyakan orang di sana. Kemeja warna baby blue dan rok jeans di bawah lutut terlihat kontras di antara kebanyakan jaket kulit berwarna hitam. Lina sendiri memakai rok hitam mini dengan aksesoris rantai di pinggangnya, juga tank top crop dengan warna yang sama, rambutnya yang berwarna c