Keduanya sama-sama diam, jalanan beraspal kampus yang cukup luas hanya di isi oleh sepeda yang ditumpangi Wicakra. Sunyi dan sepi, kecuali beberapa serangga malam yang malu-malu bernyanyi dari balik pepohonan.
Menaiki sepeda mengikis jarak antar keduanya, bahkan wangi parfum Wicakra sampai memenuhi indra penciuman Divya saking dekatnya, wangi yang asing, kehangatan vanilla dan juga green tea, buah peach yang manis bercampur dengan wangi kayu cendana, wangi yang menurut Divya sangat cocok dengan Wicakra, seperti sedang berjalan-jalan di museum dan perpustakaan tua, Divya tebak pasti Wicakra adalah seseorang yang berkepribadian hangat, tapi itu hanya sebuah tebakan, bisa jadi tebakannya salah.
Ketika Divya dengan semua pikiran dan tebakannya tentang wewangian dan vibe museum dan perpustakaan tua, Wicakra sibuk mengulang pertanyaan yang sama karena yang ditanyai masih diam saja.
"Divya?"
Gadis itu tersentak, terlempar dari pikirannya sendiri, "ah, iya kak, kenapa?"
"Lagi mikirin apa? serius banget."
Divya sedikit tertawa kecil salah tingkah, "ngga lagi mikirin apa-apa, tapi, kampus kalo malem nyeremin juga, ya, kak? Gelap."
"Itu karena beberapa lampu jalan lagi mati, biasnya ngga se-gelap ini kok."
Tiba-tiba Wicakra menghentikan kayuhan sepedanya, ia mengeluarkan ponsel pintar dari saku lalu membuka dan menyalakan senter.
Setelah mengarahkan senternya ke jalanan, laki-laki itu bertanya dengan lembut.
"Udah lebih baik?"
Divya hanya mengangguk, entah laki-laki itu tahu atau tidak jawaban tanpa suara yang Divya berikan.
Wicakra kembali mengayuh sepedanya, kali ini ia agak menaikkan laju agar keduanya segera sampai ke tujuan, agar Divya tidak merasa takut lagi.
"Buku kamu udah saya bawa, di tas, habis acara nanti jangan pulang dulu, ya?"
Divya hanya menjawab iya dengan pendek. Selang beberapa menit keduanya sampai di depan gedung serbaguna, di sana sudah ramai oleh fungsio dan juga mahasiswa yang ingin mendaftar citra.
"Kamu langsung ke sana ya?" Wicakra menunjuk meja pendaftaran yang dikelilingi cukup banyak orang. "Saya mau ngembaliin sepeda ini dulu."
Lagi-lagi Divya hanya mengangguk, setelah Wicakra sudah terlihat jauh, Divya mengejarnya dengan tiba-tiba, karena Wicakra tidak sadar Divya mengejar, gadis itu sedikit menarik kemeja hitam yang Wicakra pakai, sang pemilik kemeja pun menoleh dengan tatapan bertanya.
"Anu, mau bilang terima kasih, udah mau nganterin aku tadi, Kak."
Wicakra tersenyum hangat, meski tidak terlalu jelas karena pencahayaan yang remang. "Kembali kasih, Divya."
"Udah sana, nanti telat," Wicakra mengingatkan, dan untuk kesekian kalinya Divya hanya menjawab dengan anggukan dan berlari menuju meja pendaftaran.
•••••
Dua setengah jam kemudian acara selesai. Acara yang disiapkan oleh fungsionaris citra berjalan dengan lancar dan juga baik. Di pertemuan pertama mereka yang tidak terlalu formal ini, mereka memulai dengan memperkenalkan anggota inti dan fungsionaris citra, sambutan dari pengurus dan dewan peninjau citra yang merupakan mantan ketua citra beberapa periode yang lalu dan sudah lulus dari universitas. Selain itu ada unjuk karya, beberapa ada yang membacakan puisi, dan juga cerita pendek, ada beberapa anggota baru yang maju ke depan untuk sekedar berkenalan dan saling berbalas pantun.
Karena acara sudah selesai, beberapa mahasiswa/i yang kini sudah berstatus menjadi anggota citra bubar dan mulai keluar dari dalam gedung. Tapi Divya cuma berdiri di samping pilar gedung sambil sibuk menuliskan pesan di ponsel pintarnya.
'Kak Cakra di mana? bukunya jadi dikembaliin sekarang?' tulisnya dalam chat.
'Saya di samping gedung sebelah utara, di bawah pohon kersen.' Setelah mendapat balasan dari Wicakra, Divya segera menuju ke tempat yang dimaksudkan.
Ketika berjalan, tiba-tiba Divya mengingat penampilan Wicakra empat puluh menit yang lalu. Wicakra membacakan sebuah puisi yang berjudul Pada Suatu Hari Nanti karya Pak Sapardi Djoko Damono.
Divya masih mengingat tepuk tangan meriah ketika Wicakra selesai membaca, juga riuh teriakan dari setiap sudut. Selesai dengan pikirannya sendiri, Divya berhenti melangkah ketika ia melihat Wicakra yang berjongkok di bawah pohon kersen, memunggunginya. Laki-laki itu sibuk megelus kucing kecil yang sedang memakan makanan dari telapak tangannya.
Divya mendekat dengan langkah pelan, ikut berjongkok di samping Wicakra, laki-laki itu tidak menoleh, tidak mengecek siapa yang tiba-tiba ada di sampingnya, karena ia tahu itu adalah Divya, Divya dengan wangi bunga lily dan apel manis yang sudah mulai ia hafal.
Divya ikut mengelus kucing kecil itu, lalu kemudian Wicakra mengulurkan botol kaca kecil yang berisi makanan kucing dari lipatan kedua lutut dan badannya.
Divya menerima dan membuka botol kaca itu dengan kuat, "Kak Cakra bawa makanan kucing kemana-mana?"
Yang ditanyai hanya mengangguk, laki-laki itu masih sibuk mengelus kucing kecil yang menjadi perhatian keduanya.
"Gimana tadi, seru nggak?" Tanya Wicakra sesaat setelah Divya mengembalikan botol makanan kucing kepadanya.
"Banget, cerpen yang dibuat keren-keren, temen-temen yang lain juga lucu-lucu, apalagi waktu balas-balasan pantun."
"Syukur, deh, kalo seru."
"Buat acara ginian pasti lumayan membebani juga, ya, Kak?"
Wicakra mengangguk, "lumayan, tapi rasanya puas kalo acaranya lancar."
"Tadi Kak Cakra bawain puisinya Pak Sapardi kan ya? Kak Cakra sering baca karyanya beliau?"
Kucing kecil dengan bulu yang sedikit kotor itu berlari pergi karena selesai dengan persoalan perut, kemudian Wicakra berdiri dan Divya mengikuti, "dibilang sering, ya nggak juga, tapi kalau trilogi novel Hujan Bulan Juni, sama kumpulan cerita Pada Suatu Hari Nanti, aku udah baca."
Divya sedikit kaget karena menyadari ada perbedaan dalam kalimat yang Wicakra ucapkan. Wicakra juga ikut bingung nelihat wajah bingung Divya.
"Aku..?" Wicakra menatap Divya bingung.
"Tadi.. Kak Cakra bilang aku?"
Wicakra tertawa pelan, lalu menjawab dengan santai. "Iya, aku, biar ngga terlalu formal."
Divya hanya tersenyum kikuk mendengarnya, Wicakra mengulurkan novel bersampul biru yang sejak tadi berada di tangan kanannya kepada Divya.
"Makasih ya, udah mau pinjemin."
Divya mengangguk dan menerima uluran novel dari tangan Wicakra.
Divya sebenarnya ingin pamit untuk pulang, tapi pertanyaan Wicakra membuatnya mengurungkan niat untuk sebentar.
"Strawberry, matcha, jeruk, atau cokelat?"
Divya bingung dengan pertanyaan Wicakra yang terkesan tiba-tiba, tapi meski begitu ia tetap menjawab, "strawberry?"
"Kok kaya ngga yakin gitu, jawabannya?"
"Bingung aja, emang kenapa kak, tiba-tiba nanya itu?"
Wicakra tidak menjawab, ia hanya mengeluarkan sebatang cokelat silverqueen varian strawbery dari dalam saku celana bagian depan sebelah kanan lalu mengulurkannya pada Divya.
Divya menerimanya, meski dengan raut wajah bingung yang kentara.
"Tadi kalau aku bilang aku sukanya matcha, gimana?"
Wicakra masih tidak menjawab, ia kembali merogoh saku celana, tapi kali ini yang sebelah kiri celana bagian depan.
Laki-laki itu tidak menyerahkan cokelat itu pada Divya, ia masih memegangnya, lalu Divya kembali bertanya.
"Kalo matcha?" Wicakra mengambil sesuatu dari saku celana belakang sebelah kanan, dan mengeluarkan sebatang cokelat silverqueen varian matcha.
Kali ini tanpa Divya tanya, Wicakra merogoh saku celana terakhir, sebelah kiri bagian celana belakangnya, ada cokelat silverqueen original.
Wicakra memegang tiga batang cokelat dengan merk yang sama di tangannya, "aku ngga tau kamu suka yang mana, jadi aku beli empat-empatnya."
Divya diam, mencoba memahami apa maksud Wicakra.
"Aku cuma mau bilang makasih dengan cokelat ini, kalo hutang harus dibayar lunas, kan?"
Oke, sekarang maksud Wicakra tertangkap jelas oleh kepala Divya. Tapi meski mengetahui apa alasan dari tindakan laki-laki itu, debar di dadanya tidak bisa ia hentikan. Perutnya tiba-tiba terasa mulas, mungkin di dalam sana kupu-kupu sedang beranak-pinak lalu terbang dan bertabrakan. Sudut bibirnya memaksa agar segera terangkat, sampai akhirnya pikirannya kalah dan kendali atas bibirnya diambil alih oleh hati.
Divya tersenyum, kedua sudut bibirnya terangkat tinggi.
"Sekali lagi makasih, ya, Divya."
Komentar
Posting Komentar