Langsung ke konten utama

Nice to meet you, Divya.

Sepertinya memilih untuk mengikuti ajakan Lina menonton konser band di kampus bukan pilihan yang tepat, dan sekarang Divya sibuk menyesali pilihan yang ia buat setengah jam lalu. Sebuah panggung tinggi berdiri megah di depan gedung sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni kampus mereka, lampu sorot warna-warni menghidupkan suasana, musik mengalun dengan spontan, mengisi tiap-tiap telinga dengan semangat dan mengajak tiap-tiap kaki untuk meloncat. Divya berdiri di pinggir, di bawah pohon kersen yang rindang, sedangkan Lina di tengah sana, sibuk menyanyi dan menari bersama teman-teman barunya. 

Divya berdiri dan menatap sekitar, merasa kalau apa yang ia kenakan salah, sangat berbeda dengan apa yang dikenakan kebanyakan orang di sana. Kemeja warna baby blue dan rok jeans di bawah lutut terlihat kontras di antara kebanyakan jaket kulit berwarna hitam. Lina sendiri memakai rok hitam mini dengan aksesoris rantai di pinggangnya, juga tank top crop dengan warna yang sama, rambutnya yang berwarna cokelat terang ia gelung tinggi. Ketika sekelompok band di atas panggung turun dan band selanjutnya sibuk menata alat musik, Lina mendekat, membisikkan kalimat tepat di telinga Divya dengan volume suara yang cukup tinggi.

"Bentar lagi band kakak temenku mau manggung, nama band-nya paradise. Kamu mau ikut ke tengah ngga?" 

Divya menggeleng, menolak ajakan Lina untuk ke tengah, setelah itu ia tidak mengatakan apa pun, ia malas berteriak menandingi suara sound system yang sedang memutar sebuah lagu. Setelah mendapatkan jawaban dari Divya, Lina kembali bergabung bersama kelima temannya, tadi Divya sempat berkenalan, mereka berjumlah enam— termasuk Lina, tiga perempuan dan tiga laki-laki. Mereka semua sama-sama anak seni musik.

Lima orang di atas panggung mulai mengumpulkan perhatian tiap-tiap orang yang ada di sana, menyapa dengan semangat.

"Selamat malam semuanya," salah satu dari mereka menyapa, wajahnya kecil, tampan tapi juga cantik, rambutnya cukup panjang sampai ke leher, ia memakai kaos berwarna putih dan celana jeans yang robek di bagian lututnya, semua yang ada di sana menjawab sapaan yang ia lontarkan, tak terkecuali Divya, walau dengan suaranya yang kecil, bahkan hampir tidak terdengar.

"Sebelumnya kalau mungkin ada yang belum tahu siapa kami, nama band kami paradise, ada 5 member, mungkin kita perlu kenalan satu-satu kali ya? biar lebih berasa akrabnya." Semua menyerukan kata 'iya' dengan keras, membuat yang sedang berbicara tersenyum melihat antusias yang ia dapatkan.

"Yang pertama ada pemain gitar di sebelah kanan gue, namanya Mandala." Yang sedang diperkenalkan sedikit menundukkan kepala, lalu tersenyum dan mendapat pekikan dari ujung kanan sampai ujung kiri, wajahnya maskulin dan tampan, ia memakai kemeja hitam dan jeans dengan warna yang sama. 

"Terus di sebelah kiri gue ada Joshua," yang dipanggil melakukan hal yang sama persis dengan yang dilakukan oleh Mandala, dan yang dilakukan oleh penonton juga sama, berteriak.

"Drum dipegang sama Fauzi, terus di belakang Mandala, keyboard dipegang sama Satria." Masih dengan perlakuan yang sama, yang di panggil namanya menundukkan kepala lalu tersenyum, dan semua penonton yang memang 60% terdiri dari perempuan berteriak. 

"Terakhir, gue sendiri sebagai vokalis, Farhan, salam kenal semua."

"Kami bakal bawain lagu kami sendiri yang dibuat oleh drummer kami, Fauzi, semoga suka ya~"

Setelah teriakan mereda dan sedikit hening, mereka memulai performance. Diawali oleh petikan gitar elektrik oleh laki-laki yang Divya ingat bernama Mandala dan dilanjutkan nyanyian sang vokalis.

Acara selesai sekitar jam sebelas malam, Divya sudah mengantuk setengah mati, tapi karena ia datang kesini bersama Lina, gadis itu jadi sungkan untuk mengajak Lina pulang. Kali ini Lina bilang ingin menemani temannya menemui kakaknya di backstage. Ada empat perempuan—termasuk Divya, yang memasuki backstage yang penuh dengan orang. Lina bahkan membawa sebuket bunga yang entah dari mana datangnya.

Di saat semua orang sibuk berbasa-basi, Divya menahan untuk tidak menguap, bahkan telinga dan matanya sudah tidak bisa lagi diminta untuk fokus, ia tidak tahu apa saja yang dikatakan oleh Lina. Di tengah kantuknya, suara berat memanggil namanya, suara yang ia kenal, bahkan sangat ia kenal.

"Divya?" Yang dipanggil membalikkan badan, laki-laki berbadan tinggi menatap Divya dengan tatapan yang sulit diartikan. 

"Eh? Halo, Kak Satria." Divya menyapa dengan canggung, ternyata ia tidak salah lihat tadi, seseorang yang ia kenal berdiri di atas panggung.

"Kamu kesini—," sebelum Satria menyelesaikan kalimatnya, Divya memotong dengan cepat.

"Aku kesini sama temenku, dia mau ketemu temennya, maksudnya temennya dia punya kakak, nah dia mau ketemu." Divya menjelaskan dengan belibet. 

Satria tertawa singkat, "iya, aku ngga bakal salah paham," lalu mengelus puncak kepala Divya dengan lembut. 

Bukannya senang, Divya malah dengan segera menurunkan tangan Satria dari atas kepalanya, "nanti ada yang salah paham, kak."

Divya ingin segera keluar dari sana, tidak peduli dengan Lina yang masih sibuk sendiri. Tapi seseorang berdiri tepat di depannya, menanyakan pertanyaan yang menurut Divya aneh.

"Sat, ini Divya yang...?"

Satria menjawab santai, "Iya, Divya yang pernah gue ceritain sama lo." Divya sedikit kaget mendengar kalimat Satria, tapi dia mencoba untuk ber-ekspresi biasa-biasa saja.

"Divya Laluna?" Yang ditanyai mengangguk. Lalu sebuah fakta baru membuat Divya tersenyum.

"Saya Wicakra, Wicakra Grahadiyaksa, fungsio citra, yang pinjam novel Laut Bercerita sama kamu."

Divya cukup terkejut mendengar fakta itu, tiba-tiba ia teringat perkataan orang yang mengatakan dunia itu sempit, Divya pernah tidak mempercayai kalimat itu, tapi kini, sepertinya di beberapa situasi, kalimat itu bisa jadi benar.

"Oh iya kak, saya Divya Laluna."

Cakra mengulurkan tangannya, "nice to meet you, Divya."

Divya menanggapi uluran tangan Cakra, dan mereka berdua berjabat tangan.

"Nice to meet you too, Kak Cakra."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I can't run away

  Seorang laki-laki memencet pin di pintu apartemen Wicakra, suara pintu yang dibuka dari luar sama sekali tidak mengganggu orang yang berada di dalam, laki-laki itu masih sibuk berkutat dengan laptop yang menyala di depannya karena ia tahu siapa yang akan masuk. Dan benar saja, suara yang sangat ia kenal memenuhi ruangan, bahkan ia tidak perlu memalingkan wajah untuk mengetahui siapa yang datang. Mandala memperhatikan apartemen Cakra dengan seksama, tidak ada yang berubah, semua barang dan pajangan tertata rapi, sebuah pigura besar berisi potret keluarga Cakra masih tertempel di dinding, Cakra bersama kedua orang tua dan adiknya. Ruangan bergaya minimalis itu lenggang, tidak berisi banyak barang, hanya rak buku di sisi kiri dan sofa di tengah ruangan, lalu ada dapur kecil di sebelah kanan. “Lagi nugas?” “Ngga juga, cuma lihat rangkaian acara citra nanti malem.” Mandala yang baru saja datang membawa kresek putih ikut duduk di atas karpet bulu menghadap meja, ia berhenti melihat

light on me, perfume on you.

Keduanya sama-sama diam, jalanan beraspal kampus yang cukup luas hanya di isi oleh sepeda yang ditumpangi Wicakra. Sunyi dan sepi, kecuali beberapa serangga malam yang malu-malu bernyanyi dari balik pepohonan.  Menaiki sepeda mengikis jarak antar keduanya, bahkan wangi parfum Wicakra sampai memenuhi indra penciuman Divya saking dekatnya, wangi yang asing, kehangatan vanilla dan juga green tea, buah peach yang manis bercampur dengan wangi kayu cendana, wangi yang menurut Divya sangat cocok dengan Wicakra, seperti sedang berjalan-jalan di museum dan perpustakaan tua, Divya tebak pasti Wicakra adalah seseorang yang berkepribadian hangat, tapi itu hanya sebuah tebakan, bisa jadi tebakannya salah.  Ketika Divya dengan semua pikiran dan tebakannya tentang wewangian dan vibe museum dan perpustakaan tua, Wicakra sibuk mengulang pertanyaan yang sama karena yang ditanyai masih diam saja. "Divya?" Gadis itu tersentak, terlempar dari pikirannya sendiri, "ah, iya kak, kenapa?" &