Langsung ke konten utama

Sepotong Cokelat


Semuanya gelap, yang bisa dirasakan oleh gadis kecil bermata bulat berwarna coklat hazel itu hanyalah rasa dingin. Kakinya menapaki tanah dengan sempurna, merasakan kelembaban tanah yang menjulur sampai pipi chubbynya. 

Gadis kecil itu menutup matanya lalu mulai berhitung dari angka 1 sampai 10, sesuai dengan perkataan ibunya dulu. "Kalau semuanya berwarna hitam dan kamu terlalu takut sampai tak bisa merasakan apa pun. Tutup matamu, jadikan gelap itu teman bukannya lawan. Nanti, gelap itu sendiri yang akan menuntunmu menuju cahaya", dalam keadaan menutup mata, muncul ibunya dengan senyuman paling tulus di dunia yang pernah ia tau.

Sebenarnya, gadis kecil itu tidak tau seberapa lama dirinya menutup mata. Menghitung dari angka 1 sampai 10 saja dirinya sudah kewalahan. Tak ambil pusing, dengan cepat gadis itu membuka matanya. Penglihatannya sudah membaik, rasa takut yang tadi ia rasakan menguap dengan sempurna. "Menjadikan teman bukannya lawan" adalah solusi sederhana yang benar-benar ampuh.

Indra penciuman gadis kecil itu menangkap aroma buah-buahan paling familiar. Muncul jalan setapak di depannya dengan lilin yang menghiasi tiap tepi kanan-kirinya. Gadis kecil itu berlari, melupakan tanah lembap yang ia tapaki tanpa alas kaki. Berkali-kali gadis kecil berbaju cokelat lusuh itu berputar-putar. Seolah berusaha menangkap aroma yang berhembus. Di ujung jalan, muncul sinar terang yang membuat matanya sakit karena sudah sedikit terbiasa dengan remang. Setelah mengendalikan rasa sakit di maniknya. Barulah ia sadar dirinya sedang berada di jalan setapak di tengah hutan. Ditandai dengan pohon tinggi rindang yang mengapit jalan.

Tiba-tiba, ratusan lilin yang menghiasi tepi jalan hilang berubah menjadi ribuan tangkai bunga lily dan mawar putih. Dengan ragu, gadis kecil itu melangkah menuju cahaya. Semakin dekat dan semakin matanya tidak bisa melihat, sensasi aneh tapi menyenangkan menghantam tubuhnya. Kini dirinya bukan berdiri di jalan setapak yang diapit pohon tinggi. Tetapi di tengah hiruk-pikuk pasar yang penuh dengan manusia dengan kepentingan masing-masing. Dia berdiri tidak jauh dari penjual cokelat dengan keranjang bambu yang terlihat kotor karena jarang dicuci.

"Hei, kamu gadis kecil. Belilah cokelat ini! Setiap satu gigitan, akan memenuhi satu permohonanmu." Gadis kecil itu terkesiap mendengarnya dan tertarik untuk membuktikan itu benar atau tidak. Gadis kecil itu melangkah mendekat dan bertanya, "kalau saya membeli satu potong, berapa harganya?" Dan paman penjual cokelat pun menjawab, "sesuai dengan kalungmu nona kecil."

Gadis kecil itu terkejut. Kalungnya adalah hadiah terakhir mendiang ayahnya yang meninggal saat terjadi peperangan di kerajaan. Dengan ragu, gadis kecil itu melepaskan kalungnya dan mengulurkan tangannya. Dengan cepat paman itu mengambilnya dan memberikan sepotong cokelat kecil padanya. Yang terbesit dalam pikiran sang gadis kecil adalah "kalau aku sudah memakan cokelat ini dan permohonanku untuk menjadi puteri raja dikabulkan, akan kucari paman ini dan meminta kalungku kembali," batinnya. Dengan cepat gadis kecil itu memakan makanan manis itu dan seketika semuanya berwarna hitam. Gadis kecil itu merasakan hujan di seluruh wajahnya.

"Bangun putri tidur! Hari ini waktunya kamu pergi ke rumah belajar." Gadis kecil itu sudah terduduk dengan rambut berdiri dan selimut yang mengelilitinya. Hilang sudah image ibu baik dengan senyuman hangat yang tadi ia temui dalam mimpi, berubah dengan sosok ibu kejam dan menakutkan yang menyiramnya dengan air untuk membangunkan dirinya. 

Kini, dirinya sedang berada di atas gerobak yang ditarik oleh 2 ekor sapi milik ibunya, gadis itu duduk bersama buah-buahan seperti labu, jeruk, dan masih banyak lagi. Aroma familiar yang tadi pagi ia rasakan dalam mimpi sepertinya berasal dari buah-buahan ini. Gerobak yang gadis kecil itu naiki mulai memasuki pasar. Ada seseorang bibi yang menawarinya lilin untuk dibeli, gadis itu menggelengkan kepala. Lalu beralih pada wanita muda yang menawarkan setangkai bunga melati putih, tetapi lagi-lagi gadis itu menggelengkan kepalanya.

"Paman akan menjual buah dulu, kamu tunggu di sana sebentar." Adik dari ibunya itu mengangkat tubuhnya dan menurunkannya ke tanah.

Saat pamannya sibuk mendiskusikan harga dengan penjual di pasar. Gadis itu melihat penjual cokelat yang sama persis dari mimpinya tadi pagi. Dengan cepat gadis itu berlari dan segera bertanya. "Berapa harganya, paman?" Sang paman pun dengan cepat langsung menjawab. "2 keping emas nona kecil." Ah, bahkan caranya memanggil sama. Setelah menghirup aroma buah-buahan, melihat ratusan lili, dan bunga lily dan mawar putih tadi. Tanpa ragu sedikit pun, gadis kecil itu mengeluarkan 2 keping emas yang merupakan uang sakunya untuk masak siang di rumah belajar hari ini, tapi tak apa, kan dirinya juga akan menjadi seorang putri. Bukan hanya 2 keping, bahkan dirinya bisa saja diberi 20 keping untuk saku ke rumah belajar.

Setelah memakannya, dengan sebuah permintaan dan harapan untuk menjadi putri raja. Tiba-tiba saja seluruh tubuhnya panas, rasa gatal menjulur dari mana-mana, tangannya melepuh. Gadis kecil itu melupakan satu hal paling penting. Dirinya alergi parah pada cokelat, bahkan secuil pun. Paman sang gadis kecil sadar bahwa putri kakaknya itu mengalami alergi dan segera menggendongnya ke rumah sang bidan yang tak jauh dari pasar. 

Gadis itu menggenggam kalung dari ayahnya, tak akan pernah ada hal yang berubah hanya karena sepotong cokelat. Dia kehilangan 2 keping emas, dia kehilangan hari cerah untuk bermain dengan teman-temannya, dan yang pasti dirinya akan dimarahi oleh ibunya. Saat mengingat kecerobohannya akan menghilangkan kenangan akan ayahnya hanya karena ilusi dari sepotong cokelat. Gadis itu menangis kuat sambil sesenggukan menahan rasa sakit, kecewa, takut, marah, dan perasaan menakutkan lainnya.

Tidak ada satu hal pun yang bisa berubah secepat aliran air hujan dari langit. Apalagi untuk seorang gadis kecil putri petani yang ingin menjadi putri raja hanya karena sepotong cokelat. Dan gadis kecil itu pun sadar, di detik yang sama saat ia merasakan perasaan-perasaan menakutkan itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I can't run away

  Seorang laki-laki memencet pin di pintu apartemen Wicakra, suara pintu yang dibuka dari luar sama sekali tidak mengganggu orang yang berada di dalam, laki-laki itu masih sibuk berkutat dengan laptop yang menyala di depannya karena ia tahu siapa yang akan masuk. Dan benar saja, suara yang sangat ia kenal memenuhi ruangan, bahkan ia tidak perlu memalingkan wajah untuk mengetahui siapa yang datang. Mandala memperhatikan apartemen Cakra dengan seksama, tidak ada yang berubah, semua barang dan pajangan tertata rapi, sebuah pigura besar berisi potret keluarga Cakra masih tertempel di dinding, Cakra bersama kedua orang tua dan adiknya. Ruangan bergaya minimalis itu lenggang, tidak berisi banyak barang, hanya rak buku di sisi kiri dan sofa di tengah ruangan, lalu ada dapur kecil di sebelah kanan. “Lagi nugas?” “Ngga juga, cuma lihat rangkaian acara citra nanti malem.” Mandala yang baru saja datang membawa kresek putih ikut duduk di atas karpet bulu menghadap meja, ia berhenti melihat

light on me, perfume on you.

Keduanya sama-sama diam, jalanan beraspal kampus yang cukup luas hanya di isi oleh sepeda yang ditumpangi Wicakra. Sunyi dan sepi, kecuali beberapa serangga malam yang malu-malu bernyanyi dari balik pepohonan.  Menaiki sepeda mengikis jarak antar keduanya, bahkan wangi parfum Wicakra sampai memenuhi indra penciuman Divya saking dekatnya, wangi yang asing, kehangatan vanilla dan juga green tea, buah peach yang manis bercampur dengan wangi kayu cendana, wangi yang menurut Divya sangat cocok dengan Wicakra, seperti sedang berjalan-jalan di museum dan perpustakaan tua, Divya tebak pasti Wicakra adalah seseorang yang berkepribadian hangat, tapi itu hanya sebuah tebakan, bisa jadi tebakannya salah.  Ketika Divya dengan semua pikiran dan tebakannya tentang wewangian dan vibe museum dan perpustakaan tua, Wicakra sibuk mengulang pertanyaan yang sama karena yang ditanyai masih diam saja. "Divya?" Gadis itu tersentak, terlempar dari pikirannya sendiri, "ah, iya kak, kenapa?" &

Nice to meet you, Divya.

Sepertinya memilih untuk mengikuti ajakan Lina menonton konser band di kampus bukan pilihan yang tepat, dan sekarang Divya sibuk menyesali pilihan yang ia buat setengah jam lalu. Sebuah panggung tinggi berdiri megah di depan gedung sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni kampus mereka, lampu sorot warna-warni menghidupkan suasana, musik mengalun dengan spontan, mengisi tiap-tiap telinga dengan semangat dan mengajak tiap-tiap kaki untuk meloncat. Divya berdiri di pinggir, di bawah pohon kersen yang rindang, sedangkan Lina di tengah sana, sibuk menyanyi dan menari bersama teman-teman barunya.  Divya berdiri dan menatap sekitar, merasa kalau apa yang ia kenakan salah, sangat berbeda dengan apa yang dikenakan kebanyakan orang di sana. Kemeja warna baby blue dan rok jeans di bawah lutut terlihat kontras di antara kebanyakan jaket kulit berwarna hitam. Lina sendiri memakai rok hitam mini dengan aksesoris rantai di pinggangnya, juga tank top crop dengan warna yang sama, rambutnya yang berwarna c