Kemarin sore, hujan tidak membiarkan senja melaksanakan tugasnya. Begitu pun dengan bunga mawar yang justru malah layu saat musim hujan. Mungkin itu sebabnya kasih sayang perlu disiramkan secukupnya, tidak berlebihan.
Jogja masih jadi kota yang romantis, tapi kenangan-kenangan
yang aku punya di sana tidak melulu yang manis-manis, banyak yang miris dan
juga membawa tangis. Tapi tenang saja, Jogja adalah tempat kelahiranku, meski
dia membawa banyak luka, ia juga tetap membawakanku senang dan nyaman. Bukannya
memang begitu cara kerja semesta, suka berdampingan dengan duka, senang berteman
dengan sedih, luka berpasangan dengan sembuh.
Kenangan-kenanganku yang berlatar kota romantis masih
tertata rapi di sudut hati. Mau kuceritakan salah satunya? Ceritanya sederhana,
tentang seorang laki-laki yang berteman akrab dengan pena, sama sepertiku,
bedanya aku suka menulis, sedangkan ia suka menggambar dan melukis.
Waktu itu, aku ingat sekali. Saat hari Selasa, bukannya
memakai baju seragam osis, ia malah memakai seragam batik. Tentu saja ia
menjadi bahan ledekan dan mengundang tawa dari seluruh sudut kelas, aku salah
satunya.
“Aku tuh kemarin kehujanan, seragamnya basah,” dia mengadu
pada temannya di pojok ruang kelas.
Hujan adalah salah satu dari banyaknya hal yang bisa
mengingatkanku pada sosoknya yang tidak banyak tingkah tapi tetap menyenangkan.
Ia yang tidak dekat apalagi erat, namun bisa jadi salah satu penyemangat.
Tak disengaja ia melihat ke arahku, aku yang tadinya tertawa
tiba-tiba saja diam, salah tingkah, tak sampai lima detik, aku membuang pandangan.
Sudah hampir dua tahun aku sekelas dengannya, tapi selama itu, aku masih tidak tahu
ia mengenal namaku atau tidak. Selama hampir dua tahun itu, aku hanya pernah
meminjaminya bolpoin hitam yang akhirnya tidak ia kembalikan.
Sekarang mapel seni rupa, ibu guru sudah berdiri di depan kelas,
“tugas kalian hari ini menggambar tokoh pahlawan, boleh siapa saja, kelas saya
tinggal karena saya ada rapat, tetap kondusif, jangan berisik,” beliau berpesan
lalu keluar kelas dengan santai.
Aku menoleh ke belakang, pojok kelas lebih tepatnya, tempat
di mana ia selalu duduk, ketika mencuri pandang kulihat ia dengan semangat mengeluarkan
buku gambar A4 dan meraut pensil 2B miliknya dengan tawa yang lebar. Seni rupa
selalu jadi hal yang menyenangkan baginya, aku tahu saja, karena dari dua belas
mapel yang ada, hanya seni rupa yang membuat ia menunjukkan wajah seriang itu.
Sejak dua puluh menit lalu aku yang memang tidak berbakat dalam
hal ini hanya sibuk menggambar garis tepi, itu pun berkali-kali dihapus karena tidak
lurus. Tiba-tiba saja suara berat yang kukenal terdengar dekat, “pinjem
penghapus dong,” refleks aku menoleh, dia berada di meja sebelah, dengan
seragamnya yang terlihat mencolok.
“Tadi dipinjem Sera, coba tanyain,” Fira, yang kutahu sudah
berteman dengannya sejak kecil karena mereka bertetangga mengikutkan nama teman
sebangkuku dalam dialog mereka berdua.
Ia berbalik, tepat di sampingku, aku memegang pensilku
dengan erat, tiba-tiba saja aku berkeringat, padahal aku yakin pendingin
ruangan di kelas sudah menyala dari tadi pagi.
Ia meletakkan buku gambarnya di mejaku, tadinya menutupi
buku gambarku tapi dengan cepat ia menggeser miliknya, ia mengambil penghapus
di dekat tanganku, bahkan tak sengaja ia menyentuh punggung tanganku. “Maaf,”
ia berujar singkat.
Setelah melirikku sebentar ia fokus pada gambarannya, “pinjem
penghapus bentar.”
Ia sibuk dengan pekerjaannya, aku tersenyum melihat pekerjaan
kami yang terlihat sangat berbeda, ia yang sudah merampungkan 45 persen gambarannya
dan aku yang bahkan belum selesai menggambar garis tepi.
Sudah sedekat ini, setidaknya aku harus bisa menyapa, siapa
pahlawan yang kamu gambar? Kamu gambar pahlawan yang mana? Aku mengulang-ulang
pertanyaan itu dalam hati, tanganku gemetar, dan berakhir aku menyimpan kedua
tanganku di laci, tidak mau kalau sampai ia mengetahui gelagat anehku.
Ia mengembalikan penghapus yang baru saja dipinjam, sebelum
ia berhasil melangkah, akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibirku, dengan
paksaan dari diriku sendiri. “Kamu gambar siapa?”
Dengan cepat ia memperlihatkan gambarannya, lalu menjawab, “Pangeran
Diponegoro, mirip nggak?” Aku mengangguk menjawabnya. Setelah anggukanku, ia
pergi bersamaan dengan ucapan, “makasih, untuk pendapatnya dan untuk
penghapusnya.”
Setelah hal itu, aku tak henti-hentinya tersenyum, bahkan Sera
sampai menghela nafas panjang melihatku. Gambarku tidak selesai sampai akhir
jam pelajaran seni rupa, untungnya Ibu Guru memberi keringanan bahwa tugas bisa
dikumpulkan minggu depan.
Sudah sore, lagi-lagi hujan tidak membiarkan senja melaksanakan
tugasnya, dan aku yang menambah tugas ibu karena meminta dijemput. Aku menunggu
di halte bus dekat sekolah, sudah sepi, aku terlambat pulang karena harus
melaksanakan piket kelas.
Tiba-tiba saja seseorang dengan seragam mencolok duduk di
sampingku, berjarak setengah meter jauhnya, ia sibuk menggambar di sobekan
kertas kusut yang sudah basah. Ia mungkin tidak tahu kalau yang sedang duduk di
sampingnya adalah teman sekelas yang meminjamkan bolpoin dan penghapus. Aku
baru saja menekan tombol power di ponsel pintarku, sebelum ia mengatakan hal
yang sangat aku syukuri.
“Kamu tahu pak Sindoesoedarsono?” Aku melihat wallpaper
lockscreen ponsel pintarku, di sana terpasang foto salah satu lukisan karya
pelukis yang namanya baru saja diucapkan olehnya.
Aku mengangguk, jujur, aku tak yakin dia tahu siapa orang
yang sedang ia ajak bicara, karena kali ini pun, ia tidak memanggil namaku
dalam dialognya.
Ia mengatakan kalimat dengan masih fokus pada selembar
kertas di tangan. “Beliau pelukis favoritku.”
Aku tahu. Aku tahu siapa pelukis-pelukis favoritnya,
karena ia sering membagikan banyak karya pelukis di akun instagram pribadinya,
aku diam-diam mengikuti menggunakan akun keduaku.
“Kak Gerhana!” Panggilan dengan suara hangat tiba-tiba
terdengar, lalu muncul seorang perempuan dengan seragam yang sama denganku,
membawa payung berwarna abu-abu, mendekat dengan senyuman yang manis.
Iya, nama laki-laki yang sejak tadi mengisi halaman ini
adalah Gerhana. Gerhana Bulan lebih tepatnya, mungkin ia lahir tepat saat gerhana
bulan, mungkin saja, aku hanya menebak.
Gerhana berdiri, lalu membersihkan bekas-bekas titik hujan
yang mendarat di seragam perempuan yang kutahu namanya adalah Nayla, ia pernah
membawakan lagu saat perayaan ulang tahun sekolah bulan lalu.
“Yah, gara-gara hujan ayangku jadi basah.” Dengan cepat
Nayla menghentikan pergerakan Gerhana yang masih saja membersihkan titik hujan
di rok seragam Nayla.
“Apa sih, kak, jangan lebay deh.” Lalu Gerhana tertawa. “Maaf
ya, kak Disha, temen kakak yang satu ini emang lebay, alay lagi.” Di akhir
kalimatnya, Nayla tertawa. Satu fakta baru lagi, ternyata Nayla mengenalku, aku
tidak tahu pasti dari mana ia mengenalku.
Aku tersenyum melihat mereka berdua, jujur saja, di dalam hati
aku sedang tertawa, menertawakan diriku sendiri. Mereka berbincang, dialog yang
membuatku ingin menulikan telingaku saat ini juga, tapi tidak bisa, aku masih
bisa mendengar suara mereka berdua, aku bahkan hafal setiap inci kalimat yang
mereka keluarkan.
“Mau pulang sekarang?”
Nayla mengangguk, “tapi jajan telur gulung dulu.”
“Aku ambil motorku dulu ya? Kamu jajan dulu.”
Lagi-lagi Nayla mengangguk, lalu memberikan kunci motornya
pada Gerhana. “Sekalian punyaku, tadi pagi aku parkir di samping pos satpam,
ngga tahu udah di pindah apa belum.”
“Sip.” Gerhana menjawab singkat. Rasanya aku menjadi tokoh
figuran sekarang, diam saja memperhatikan sepasang tokoh utama dalam novel fiksi
remaja.
“Aku duluan ya, Kak.” Nayla menyapaku, yang kujawab senyum seadanya
dan sebuah anggukan.
Setelah melihat kekasihnya pergi, kini giliran Gerhana yang
pergi, seperti katanya, ia mungkin akan mengambil motor. “Disha.” Tiba-tiba ia
memanggilku, pertama kali aku mendengarnya memanggil namaku, seharusnya aku
senang, tapi aku justru merasa hampa.
Aku menatapnya, menunggu kalimat apa yang akan ia keluarkan
dari mulutnya, “duluan ya.” Dan untuk kesekian kalinya aku hanya menjawab dengan
anggukan. Setelah ia pergi, aku melihat selembar kertas lusuh di tempat ia
duduk tadi, dengan gerak pelan aku mengambilnya, kertas itu berisi sketsa
sebuah mobil yang berada di bawah hujan, gambarnya masih berantakan, mungkin
karena ia tak terlalu serius.
Hujan kala itu, aku menyimpan kertas itu ke dalam sakuku
dengan gerak cepat, takut kalau sampai pemiliknya tahu kalau karyanya itu sudah
dicuri. Dan hujan sekarang, tujuh tahun setelah hujan kala itu, aku membuka
dompet berwarna merah muda dari tas ku, mengambil kertas lusuh yang sudah
memudar warnanya, itu gambar yang sama, dengan dimensi waktu yang berbeda.
“Disha,” seseorang memanggilku pelan, berdiri memegang
payung biru dengan senyuman hangatnya, “hai, Gerhana,” aku menyapanya kembali.
“Maaf, lama ya?” Aku menggeleng, memasukkan kembali kertas
lusuh itu ke dalam tempatnya, bahkan si pemilik karya tidak tahu kalau karyanya
waktu itu sudah dicuri, setelahnya aku berdiri dan berjalan mendekat, ikut
meneduh di bawah payung biru yang sama dengannya.
Ternyata semesta punya rencana yang berada di luar logika. Yang
tak bisa diandai-andaikan manusia, yang bisa lebih mengejutkan dari
rencana-rencana yang menetap di kepala.
Komentar
Posting Komentar