Setelah pertemuan mendadak yang tidak Divya sangka-sangka,
gadis itu berhasil melarikan diri, pergi ke gedung sastra asing yang ada di
ujung, melarikan diri sejauh mungkin dari keramaian. Tapi jujur saja, ia merasa
sedikit merinding di sini, lampu yang temaram dan juga sepi tiba-tiba membuat
kepala Divya secara tidak sadar menyenandungkan lagu horor. Divya duduk di
bangku besi di depan koridor, mencoba menghilangkan segala bentuk pikiran yang
selalu mengarah ke film horor yang minggu lalu ia tonton. Ketika Divya sedang
bersaing dengan pikirannya sendiri, sebuah kilat tiba-tiba menimpa wajahnya,
gadis itu kaget bukan main, bertanya-tanya kilat apa tadi, meski tidak yakin
tapi Divya merasa kalau kilat itu berasal dari blitz kamera.
Ketika Divya sibuk menengok ke sana dan ke mari, sebuah bayangan
keluar dari belakang pohon mahoni rindang yang berjarak sekitar lima meter dari
tempat Divya duduk. Divya sontak berdiri dan berniat untuk berlari
sekuat-kuatnya, tapi sebuah suara yang membuat ia yakin bayangan itu adalah
manusia membuatnya mengurungkan niat untuk berlari.
“Tunggu sebentar.” Seorang laki-laki yang mengalungkan kamera
besar di leher keluar dengan wajah merah, di dalam hati ia memaki diri sendiri,
bangsat, pake acara lupa matiin flash lagi.
Sesampainya di samping Divya, laki-laki itu mulai membela
diri, “lo jangan salah paham dulu, gue bukan paparazi apalagi stalker kok.”
Melihat kamera yang mengalun di leher laki-laki itu, Divya
jadi sadar, “kamu habis foto aku? Ngapain? Buat apa?”
“Gue,” laki-laki itu berdehem lalu melanjutkan kalimatnya
dengan terbata-bata, “pasti sekarang gu-, aku maksudnya, keliatan aneh ya? Moto
kamu diem-diem, tapi aku ngga ada niat jahat kok.”
“Terus? Apa alasannya?” karena jujur, Divya merasa risi.
Laki-laki itu tiba-tiba tersenyum, “kalau aku bilang
alasannya karena kamu cantik, gimana?”
Divya bingung, tapi tak mau ambil pusing, Divya akhirnya
memikirkan satu solusi. “Oke, apapun alesannya, aku minta foto itu dihapus.”
“Kenapa? Cantik kok?”
“Ya, pokoknya hapus!” Divya mencoba meraih kamera yang menggantung,
tapi tidak bisa karena laki-laki itu langsung menghindar.
“Gini deh, gini.” Laki-laki itu berpikir sejenak, “kita suit
aja, kalo kamu menang fotonya aku hapus, tapi kalo aku yang menang, kamu kasih
nomor hp-mu, gimana?”
Divya berpikir, menimbang-nimbang, “curang! Berarti mau kamu
kalah atau menang kamu ngga rugi!”
“Kalo begitu, kalo kamu menang, fotonya bakal aku hapus, dan
aku bakan kabulin satu permintaan kamu, apa pun itu,” tawar laki-laki itu.
Divya berpikir apakah ia perlu melakukan tantangan laki-laki
di depannya atau tidak, tapi jika ia tidak melakukannya, fotonya tidak akan dihapus
oleh laki-laki itu. Meski ada kemungkinan ia kalah, memberikan nomor hp tidak
terlalu buruk juga, toh cuma nomor, kali ini ia berpikir untuk mengambil kesempatan
sekaligus risiko. Tidak terlalu buruk juga, presentase kemenangannya 50%.
“Kalo aku minta rumah, gimana?” tantang Divya.
Laki-laki itu tertawa, tapi melihat wajah serius Divya ia
langsung berhenti, “serius?” Divya mengangguk. Laki-laki itu mengendikan bahu
acuh, “kalo kamu mau, aku bisa, ngga cuma rumah, sekalian berumah tangga juga
boleh banget.”
Divya tidak terlalu ambil pusing kalimat tidak jelas yang
laki-laki itu katakan lalu dengan tiba-tiba, “siap ngga siap, gunting, batu,
kertas~,” Divya langsung menyerang tanpa aba-aba.
Divya mengeluarkan kertas, sedangkan laki-laki itu mengeluarkan
gunting. Kesimpulannya, Divya kalah.
Laki-laki itu langsung berseru semangat, “yes!”
Ia langsung membuka ponsel, menyuruh Divya mengetikkan
nomornya, dengan hati yang berat dan terpaksa Divya mengetik.
“Jangan ngasal, nanti mau langsung aku telpon buat ngecek.”
Akal-akalan Divya sudah terbaca ternyata, jadi Divya sudah
tidak bisa menghindar.
Selesai mengetik nomornya, ia kembalikan ponsel laki-laki
itu, “siapa?” tanyanya.
“Apanya?”
“Nama kamu lah, apa lagi coba?”
Divya menghela nafas berat, “Divya,” ucapnya tidak ikhlas.
Ponsel di sakunya berdering, nomor asing masuk. Lalu setelah
panggilan itu mati, masuk panggilan lain, muncul nama Lina lucuu di layar.
“Halo, Divya kamu di mana? Aku udah di parkiran.”
“Iya, ini aku mau ke situ, tunggu bentar.”
Tanpa menyapa atau sekedar berpamitan pada laki-laki di
depannya, Divya langsung berlari, takut kalau sampai Lina menunggunya terlalu
lama.
Ketika Divya berlari, laki-laki itu berteriak, “Mandala!”
Meski tidak berhenti berlari, Divya mendengar itu dengan jelas. “Namaku Mandala,”
ulang laki-laki itu lagi.
Divya berpikir, sejak tadi ia merasa kalau wajah laki-laki
itu pernah ia lihat, setelah mendengar namanya, Divya baru sadar kalau
laki-laki itu adalah orang yang sama yang ada di atas panggung, dari band kakak
teman Lina- Paradise, kalau Divya tidak salah ingat laki-laki itu yang memainkan
gitar.
Komentar
Posting Komentar