“Bu, kira-kira kalau aku
sudah besar, aku jadi apa ya?”
Gelap
sudah membungkus rumah berdinding anyaman rotan itu dengan sempurna, di dalam
rumah bertahta sebuah petromax yang di kelilingi lantunan ayat suci. Di luar kunang-kunang
sudah mulai berjalan-jalan, serangga malam juga sudah mulai bernyanyi, menemani
rembulan yang sedang muram, katanya hari ini bukan waktunya untuk bersinar,
masih belum. Meski begitu anak-anak mulai keluar rumah dan berkumpul di
lapangan botak yang dipenuhi kerikil tajam.
Padang wulan... padange
koyo rino
Rembulane sing awe-awe
Padang wulan... padange
koyo rino
Mungkin, barangkali rembulan sedang menahan malu di atas
sana. Dipuji atas apa yang sebenarnya tak ada pada diri. Atau mungkin, malah
rembulan sedang bangga, terbahak-bahak tertawa, berbangga diri dengan sudut
bibir yang menjulang tinggi. Bu, apakah tabiat rembulan sama dengan manusia?
Siapa yang mengikuti siapa? Manusia yang mengikuti rembulan atau malah
sebaliknya?
Tadinya ada seorang anak yang sedang melantunkan ayat
suci di depan lampu petromax, ia seketika menyudahi karena mendengar nyanyian
dari luar rumah. Berlari menuju teman-temannya, ikut bernyanyi ria, bahkan
mungkin jutaan bintang di atas sana sedang memandang penuh dengki kesenangan
mereka yang hakiki. Bu, bukankah menjadi anak-anak adalah fase paling
menyenangkan dalam hidup?
Rembulane sing awe-awe
Ngelingake ojo podo turu
sore
Normalnya, semua anak akan
bersekolah, katanya, ‘aku datang untuk belajar, dan aku pulang membawa ilmu.’ Begitu
juga seorang anak perempuan di pojok kelas yang terlihat bingung, menggaruk
kepalanya, mungkin terdapat sekumpulan spesies di atas sana. Cita-cita adalah
hal yang asing ditelinganya, guru di depan kelas sedang menunggu pilihan
cita-cita apa yang akan dipilih anak didiknya itu, “cita-cita adalah profesi
yang ingin kamu lakukan saat sudah dewasa,” lalu dari pada terlarut-larut
dalam bingung, anak perempuan itu menyontek jawaban teman sebangkunya, “saya
ingin jadi dokter, Pak Guru.”
Anak
perempuan itu pulang, lalu bertanya pada ibunya, “Bu, apa benar semua anak
harus punya cita-cita?” Ibu diam, seolah meminta anaknya untuk kembali
mengajukan pertanyaan, “Ibu dulu punya cita-cita?” Ibu mengangguk, “Apa
cita-cita Ibu? apa jadi Ibuku juga termasuk cita-cita?” Ibu hanya tersenyum,
bukannya menjawab, beliau malah bertanya, “Apa cita-cita anak ibu?” Anak perempuan
itu diam, kembali dengan raut wajah bingungnya dan tanpa sadar menggaruk
kepala.
Di
sebuah malam yang jauh, rembulan membiarkan separuh badannya bersinar, tak
semuram malam itu. Tapi kali ini jangankan kunang-kunang, semut saja enggan
keluar dari liangnya, atau barangkali menyusul dinosaurus, menghilang dari
peradaban. Gadis perempuan itu terbahak bahkan sampai tersedak tawanya sendiri
saat teringat cita-citanya saat berumur delapan tahun. Kertas latihan soal di atas
meja seolah sedang menertawakan kebodohannya, seolah bertanya, ‘ke mana
perginya semua ilmu yang katanya sudah kamu bawa dari sekolah selama lebih dari
delapan tahun?’
Remaja
itu keluar kamar, mendekat pada Ibunya yang sedang menyeruput teh hangat di
teras depan, duduk di bawah lampu, setelah selesai menyeruput teh hangat,
beliau kembali fokus dengan alat rajut di tangannya. Lalu kalimat yang langsung
keluar dari mulut remaja perempuan itu saat sudah duduk di samping Ibu adalah:
“Bu, kira-kira kalau aku sudah besar, aku jadi apa ya?” Dan malam itu, jawaban
Ibu adalah obat paling mujarab yang mampu mengurai benang kusut yang ada di
dalam kepalanya.
Sepertinya waktu adalah hal yang paling tegas, paling
tidak mau di ganggu, ia akan terus berjalan. Saat bahagia, waktu akan tetap
berjalan. Saat sedih pun, waktu juga akan terus berjalan, dan keduanya akan
sama-sama tertinggal di belakang, menjadi kenangan, yang hanya bisa diingat
atau mungkin beberapa akan dilupakan. Kali ini malam tidak lagi segelap dulu,
rembulan juga sedang tersenyum ceria, beradu cahaya dengan lampu jalan.
Serangga malam sudah tergusur sejak lama, berganti jejak langkah yang
berlomba-lomba untuk segera sampai ke tempat tujuan. Sebuah pertanyaan ternyata
mampu melempar seorang wanita untuk menjelajahi waktu, untuk sekedar bertandang
pada kenangan-kenangan sederhana.
Laptop di pangkuannya masih menyala, dan remaja perempuan
yang duduk di sampingnya masih menanti jawab atas pertanyaan yang sedang ia
ajukan, “Bu, kira-kira kalau aku sudah besar, aku jadi apa ya?” ulangnya lagi.
Mungkin, pertanyaan itu adalah sebuah template yang sudah terpaku di
tiap-tiap kepala. Wanita itu melirik segelas teh hangat di meja, lalu
mengangkat dan menyeruputnya pelan. Lalu mendongak, melihat rembulan di atas
sana, yang terlihat sedang tersenyum. Barangkali rembulan bukannya terlampau
malu ataupun berbangga diri, ia hanya sedang mencoba menerima diri, dengan
apa-apa yang sudah ia miliki.
“Rembulan,” panggil wanita itu, mengelus pucuk kepala
anaknya yang kini sudah beranjak remaja. “Kamu tahu kenapa Ibu menamai kamu
Rembulan?” Yang ditanyai hanya menggeleng. Lalu seorang anak perempuan dari
malam itu yang kini sudah berubah profesi menjadi seorang Ibu itu menunjuk
rembulan di atas sana. “Cantik kan?” Sang anak mengangguk lalu bertanya, “aku
secantik itu?” Ibunya tertawa, “tentu saja, tapi bukan hanya itu, rembulan
adalah bentuk pertumbuhan paling sempurna, berawal tanpa cahaya, lalu sedikit
demi sedikit menemukan cahayanya, bulan berteman akrab dengan waktu, dengan
roda kehidupan.” Alis Rembulan mengerut, tidak paham kalimat Ibunya.
“Kamu tanya kalau kamu sudah besar, kamu jadi apa? Ya
jadi apa saja, yang terpenting harus jadi manusia, jadi manusia itu proses yang
sangat panjang, Ibu saja masih belum selesai dengan proses itu.”
“Bukannya sekarang aku sudah jadi manusia?”
“Kalau bulan yang di atas sana ditanyai ia mau jadi apa,
pasti jawabannya jadi bulan. Mungkin ia juga tidak berminat menjadi bintang,
ataupun matahari. Bukannya mereka-mereka itu sudah pas dengan porsinya
masing-masing? Nah, begitu juga manusia, nantinya akan punya porsinya
masing-masing, ngga perlu takut untuk ngga jadi apa-apa, rembulan di awal bulan
saja tidak terlihat seperti rembulan, ia menyatu bersama langit malam, tapi
setelahnya, ia benar-benar menjadi rembulan yang bersinar.”
Rembulan mengangguk-anggukan kepalanya, lalu pamit untuk
kembali ke dalam, sementara wanita itu mengetikkan sesuatu di laptop yang
sesaat tadi dilupakan keberadaannya.
Tidak apa-apa untuk tidak ingin menjadi apa-apa. Tidak
apa-apa untuk tidak jadi apa-apa. Rembulan saja punya masa padam dan terangnya
sendiri, barangkali kamu juga. Hari ini masamu untuk tidak ingin jadi apa-apa,
nikmati kehadiran perasaan itu, barangkali besok pagi akan datang masamu untuk
ingin menjadi sesuatu, atau seseorang, untuk jadi rembulan, yang sadar dirinya
punya masanya sendiri, yang sadar untuk bisa menerima diri dan apa-apa yang
dimiliki, yang sadar bahwa waktu hanya perlu dihargai keberadaannya. Atau
mungkin hanya sekedar untuk tetap berproses menjadi manusia, sampai akhir,
sampai selesai. Bukannya Allah adalah sebaik-baiknya perencana, takdir dan
ceritamu sudah tertata rapi, lalu kamu mengkhawatirkan hal yang mana lagi?
Komentar
Posting Komentar