Langsung ke konten utama

See you soon, Jingga.

 


Langit kota Semarang terlihat tidak bersemangat, biasanya di jam tiga sore masih terik tapi September kali ini sepertinya sedang murung. Tapi meski begitu, Wicakra cukup senang dengan cuaca hari ini yang mendung, ia jadi tidak perlu kepanasan dan berkeringat.

Dengan langkah yang sama mendungnya seperti langit, Wicakra membawa kotak berisi cake di tangan kanan, dan sebuket besar bunga lily putih dan sebotol air mineral di tangan kiri. Ia tidak menyukai kunjungan ini, karena dari sini ia akan kembali ditampar kenyataan bahwa Jingga sudah pergi, pergi untuk tidak kembali. Dan ia benci itu, ia benci mengingat kembali fakta yang ingin ia lupakan.

Wicakra berdiri tepat di sebuah nisan yang mengukir nama Jingga, ia melipir ke pinggir untuk meletakkan barang yang ia bawa, dengan gerakan yang pasti ia membuka tutup botol air mineral yang ia bawa untuk dituangkan ke makam Jingga. Sore itu suasananya sendu, muram sekali, seolah bumi ikut merayakan kesedihan yang Wicakra rasakan.

"Sore, Jingga yang cantik," sapa Wicakra ditengah kegiatannya menuang air, setelah air di botol tandas ia kembali menutup botol dan meletakkannya tepat di samping ia duduk.

"Aku minta maaf karena marah-marah tadi malem, maaf udah bilang kamu egois."

Dalam duduknya, Wicakra mencoba mencari kenyamanan untuk bercerita. Burung gereja tumben-tumbenan berterbangan di atas sana, sesaat mengalihkan perhatian laki-laki berkacamata hitam itu.

"Tadi rencananya aku mau ke sini bareng sama Mandala, tapi dia belum selesai kelas, jadi aku duluan."

Tak ada jawaban, hanya sepi yang menemani tiap kata yang keluar dari mulut Wicakra, laki-laki itu menengadah, melihat langit dan mencari kemana gerangan burung gereja yang tadi sempat berterbangan di atas kepalanya. Sebenarnya kalimat tadi hanya pembelaan, Wicakra menengadah karena ia tak ingin ada air mata yang keluar, ia tak ingin menangis, setidaknya tidak di depan Jingga.

"Jingga, di sana nyaman kan? ngga kaya di bumi? di bumi kamu selalu sakit, di sana kamu udah sembuh? aku harap udah ya?"

Dengan lembut Wicakra mengusap nisan dengan nama Jingga yang terukir di sana, mencoba membayangkan kalau sekarang ia benar-benar sedang mengusap pucuk kepala Jingga.

"Aku udah bawa strawberry cake, kesukaan kamu, nanti kalau Mandala udah sampai, kita makan bareng-bareng ya?"

Sekitar dua puluh menit Wicakra hanya diam, sebenarnya ada banyak hal yang ingin laki-laki itu ceritakan pada Jingga, tapi ketika ia ingin bercerita lidahnya terasa kelu.

Seseorang menepuk punggungnya, tapi Wicakra tidak terkejut karena dari semenit yang lalu ia sudah mengenali wangi parfum yang menyengat, wangi parfum Mandala, yang dari dulu masih sama.

"Sore, Jingga. Sorry telat, gue ada kelas tadi."

Mandala langsung menyapa, laki-laki itu tidak membawa apa-apa kecuali setangkai bunga mawar merah yang masih berduri, lalu ia letakkan di atas makam Jingga.

Wicakra membuka kotak yang ia bawa dan mengeluarkan sebuah cake strawberry yang berukuran tidak terlalu besar, lalu menancapkan sebuah lilin di atasnya. Ketika laki-laki itu sibuk merogoh saku, Mandala menyerahkan korek api yang selalu ia bawa kemana-mana.

Lilinnya sudah menyala, tentu saja bukan harapan semoga panjang umur yang diucapkan, bukan juga nyanyian selamat ulang tahun, melainkan, "semoga bahagia selalu, Jingga."

Kedua laki-laki itu sama-sama memejamkan mata, berdoa dengan tulus dan serius, selang lima menit, keduanya membuka mata dan meniup lilin untuk Jingga bersama-sama.

Langit sudah mulai memerah, tapi mereka berdua belum beranjak dari sana, mereka sibuk menyendok cake strawberry yang belum juga habis dari tadi.

"Kenapa sih milih size cakenya yang gede?" Mandala mengeluh sambil memasukkan sepotong cake ke dalam mulutnya.

"Ini lebih mending ya, dari pada cake yang lo beli tahun kemaren, buat sekeluarga juga masih lebih." Wicakra membela diri.

Setelah meniup lilin dan berdoa, mereka berdua akan bersama-sama memakan cake yang sudah mereka bawa, karena Jingga tidak suka menyisakan makanan, dulu gadis itu sering sekali memarahi Mandala dan Wicakra kalau tidak menghabiskan makanan yang mereka punya.

Setelah bersusah payah menghabiskan cake, mereka berdua berdiri, mengambil kotak cake dan juga botol air mineral yang tadi Wicakra gunakan. Langit sudah gelap, tapi mereka berdua sama sekali tidak takut, karena mereka menganggap sedang berada di rumah Jingga, rumah yang benar-benar rumah.

"Aku pamit pulang dulu, ya? kamu baik-baik di sini." Wicakra mulai berpamitan, "yuk!" ajaknya pada Mandala yang hanya diam memandang nisan Jingga.

Mandala mengangguk mendengar ajakannya, seakan mengerti maksud Mandala, Wicakra mulai berjalan lebih dulu meninggalkan Mandala.

"See you soon, Jingga, take care, and i'll miss you, always."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I can't run away

  Seorang laki-laki memencet pin di pintu apartemen Wicakra, suara pintu yang dibuka dari luar sama sekali tidak mengganggu orang yang berada di dalam, laki-laki itu masih sibuk berkutat dengan laptop yang menyala di depannya karena ia tahu siapa yang akan masuk. Dan benar saja, suara yang sangat ia kenal memenuhi ruangan, bahkan ia tidak perlu memalingkan wajah untuk mengetahui siapa yang datang. Mandala memperhatikan apartemen Cakra dengan seksama, tidak ada yang berubah, semua barang dan pajangan tertata rapi, sebuah pigura besar berisi potret keluarga Cakra masih tertempel di dinding, Cakra bersama kedua orang tua dan adiknya. Ruangan bergaya minimalis itu lenggang, tidak berisi banyak barang, hanya rak buku di sisi kiri dan sofa di tengah ruangan, lalu ada dapur kecil di sebelah kanan. “Lagi nugas?” “Ngga juga, cuma lihat rangkaian acara citra nanti malem.” Mandala yang baru saja datang membawa kresek putih ikut duduk di atas karpet bulu menghadap meja, ia berhenti melihat

light on me, perfume on you.

Keduanya sama-sama diam, jalanan beraspal kampus yang cukup luas hanya di isi oleh sepeda yang ditumpangi Wicakra. Sunyi dan sepi, kecuali beberapa serangga malam yang malu-malu bernyanyi dari balik pepohonan.  Menaiki sepeda mengikis jarak antar keduanya, bahkan wangi parfum Wicakra sampai memenuhi indra penciuman Divya saking dekatnya, wangi yang asing, kehangatan vanilla dan juga green tea, buah peach yang manis bercampur dengan wangi kayu cendana, wangi yang menurut Divya sangat cocok dengan Wicakra, seperti sedang berjalan-jalan di museum dan perpustakaan tua, Divya tebak pasti Wicakra adalah seseorang yang berkepribadian hangat, tapi itu hanya sebuah tebakan, bisa jadi tebakannya salah.  Ketika Divya dengan semua pikiran dan tebakannya tentang wewangian dan vibe museum dan perpustakaan tua, Wicakra sibuk mengulang pertanyaan yang sama karena yang ditanyai masih diam saja. "Divya?" Gadis itu tersentak, terlempar dari pikirannya sendiri, "ah, iya kak, kenapa?" &

Nice to meet you, Divya.

Sepertinya memilih untuk mengikuti ajakan Lina menonton konser band di kampus bukan pilihan yang tepat, dan sekarang Divya sibuk menyesali pilihan yang ia buat setengah jam lalu. Sebuah panggung tinggi berdiri megah di depan gedung sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni kampus mereka, lampu sorot warna-warni menghidupkan suasana, musik mengalun dengan spontan, mengisi tiap-tiap telinga dengan semangat dan mengajak tiap-tiap kaki untuk meloncat. Divya berdiri di pinggir, di bawah pohon kersen yang rindang, sedangkan Lina di tengah sana, sibuk menyanyi dan menari bersama teman-teman barunya.  Divya berdiri dan menatap sekitar, merasa kalau apa yang ia kenakan salah, sangat berbeda dengan apa yang dikenakan kebanyakan orang di sana. Kemeja warna baby blue dan rok jeans di bawah lutut terlihat kontras di antara kebanyakan jaket kulit berwarna hitam. Lina sendiri memakai rok hitam mini dengan aksesoris rantai di pinggangnya, juga tank top crop dengan warna yang sama, rambutnya yang berwarna c