Langsung ke konten utama

Postingan

light on me, perfume on you.

Postingan terbaru

See you soon, Jingga.

  Langit kota Semarang terlihat tidak bersemangat, biasanya di jam tiga sore masih terik tapi September kali ini sepertinya sedang murung. Tapi meski begitu, Wicakra cukup senang dengan cuaca hari ini yang mendung, ia jadi tidak perlu kepanasan dan berkeringat. Dengan langkah yang sama mendungnya seperti langit, Wicakra membawa kotak berisi cake di tangan kanan, dan sebuket besar bunga lily putih dan sebotol air mineral di tangan kiri. Ia tidak menyukai kunjungan ini, karena dari sini ia akan kembali ditampar kenyataan bahwa Jingga sudah pergi, pergi untuk tidak kembali. Dan ia benci itu, ia benci mengingat kembali fakta yang ingin ia lupakan. Wicakra berdiri tepat di sebuah nisan yang mengukir nama Jingga, ia melipir ke pinggir untuk meletakkan barang yang ia bawa, dengan gerakan yang pasti ia membuka tutup botol air mineral yang ia bawa untuk dituangkan ke makam Jingga. Sore itu suasananya sendu, muram sekali, seolah bumi ikut merayakan kesedihan yang Wicakra rasakan. "Sore,

I can't run away

  Seorang laki-laki memencet pin di pintu apartemen Wicakra, suara pintu yang dibuka dari luar sama sekali tidak mengganggu orang yang berada di dalam, laki-laki itu masih sibuk berkutat dengan laptop yang menyala di depannya karena ia tahu siapa yang akan masuk. Dan benar saja, suara yang sangat ia kenal memenuhi ruangan, bahkan ia tidak perlu memalingkan wajah untuk mengetahui siapa yang datang. Mandala memperhatikan apartemen Cakra dengan seksama, tidak ada yang berubah, semua barang dan pajangan tertata rapi, sebuah pigura besar berisi potret keluarga Cakra masih tertempel di dinding, Cakra bersama kedua orang tua dan adiknya. Ruangan bergaya minimalis itu lenggang, tidak berisi banyak barang, hanya rak buku di sisi kiri dan sofa di tengah ruangan, lalu ada dapur kecil di sebelah kanan. “Lagi nugas?” “Ngga juga, cuma lihat rangkaian acara citra nanti malem.” Mandala yang baru saja datang membawa kresek putih ikut duduk di atas karpet bulu menghadap meja, ia berhenti melihat

gunting, batu, kertas.

  Setelah pertemuan mendadak yang tidak Divya sangka-sangka, gadis itu berhasil melarikan diri, pergi ke gedung sastra asing yang ada di ujung, melarikan diri sejauh mungkin dari keramaian. Tapi jujur saja, ia merasa sedikit merinding di sini, lampu yang temaram dan juga sepi tiba-tiba membuat kepala Divya secara tidak sadar menyenandungkan lagu horor. Divya duduk di bangku besi di depan koridor, mencoba menghilangkan segala bentuk pikiran yang selalu mengarah ke film horor yang minggu lalu ia tonton. Ketika Divya sedang bersaing dengan pikirannya sendiri, sebuah kilat tiba-tiba menimpa wajahnya, gadis itu kaget bukan main, bertanya-tanya kilat apa tadi, meski tidak yakin tapi Divya merasa kalau kilat itu berasal dari blitz kamera. Ketika Divya sibuk menengok ke sana dan ke mari, sebuah bayangan keluar dari belakang pohon mahoni rindang yang berjarak sekitar lima meter dari tempat Divya duduk. Divya sontak berdiri dan berniat untuk berlari sekuat-kuatnya, tapi sebuah suara yang membu

Memeluk Rembulan

  “Bu, kira-kira kalau aku sudah besar, aku jadi apa ya?” Gelap sudah membungkus rumah berdinding anyaman rotan itu dengan sempurna, di dalam rumah bertahta sebuah petromax yang di kelilingi lantunan ayat suci. Di luar kunang-kunang sudah mulai berjalan-jalan, serangga malam juga sudah mulai bernyanyi, menemani rembulan yang sedang muram, katanya hari ini bukan waktunya untuk bersinar, masih belum. Meski begitu anak-anak mulai keluar rumah dan berkumpul di lapangan botak yang dipenuhi kerikil tajam. Padang wulan... padange koyo rino Rembulane sing awe-awe Padang wulan... padange koyo rino             Mungkin, barangkali rembulan sedang menahan malu di atas sana. Dipuji atas apa yang sebenarnya tak ada pada diri. Atau mungkin, malah rembulan sedang bangga, terbahak-bahak tertawa, berbangga diri dengan sudut bibir yang menjulang tinggi. Bu, apakah tabiat rembulan sama dengan manusia? Siapa yang mengikuti siapa? Manusia yang mengikuti rembulan atau malah sebaliknya?         

Nice to meet you, Divya.

Sepertinya memilih untuk mengikuti ajakan Lina menonton konser band di kampus bukan pilihan yang tepat, dan sekarang Divya sibuk menyesali pilihan yang ia buat setengah jam lalu. Sebuah panggung tinggi berdiri megah di depan gedung sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni kampus mereka, lampu sorot warna-warni menghidupkan suasana, musik mengalun dengan spontan, mengisi tiap-tiap telinga dengan semangat dan mengajak tiap-tiap kaki untuk meloncat. Divya berdiri di pinggir, di bawah pohon kersen yang rindang, sedangkan Lina di tengah sana, sibuk menyanyi dan menari bersama teman-teman barunya.  Divya berdiri dan menatap sekitar, merasa kalau apa yang ia kenakan salah, sangat berbeda dengan apa yang dikenakan kebanyakan orang di sana. Kemeja warna baby blue dan rok jeans di bawah lutut terlihat kontras di antara kebanyakan jaket kulit berwarna hitam. Lina sendiri memakai rok hitam mini dengan aksesoris rantai di pinggangnya, juga tank top crop dengan warna yang sama, rambutnya yang berwarna c

Hujan dan Selembar Kenangan dalam Angan

Kemarin sore, hujan tidak membiarkan senja melaksanakan tugasnya. Begitu pun dengan bunga mawar yang justru malah layu saat musim hujan. Mungkin itu sebabnya kasih sayang perlu disiramkan secukupnya, tidak berlebihan. Jogja masih jadi kota yang romantis, tapi kenangan-kenangan yang aku punya di sana tidak melulu yang manis-manis, banyak yang miris dan juga membawa tangis. Tapi tenang saja, Jogja adalah tempat kelahiranku, meski dia membawa banyak luka, ia juga tetap membawakanku senang dan nyaman. Bukannya memang begitu cara kerja semesta, suka berdampingan dengan duka, senang berteman dengan sedih, luka berpasangan dengan sembuh. Kenangan-kenanganku yang berlatar kota romantis masih tertata rapi di sudut hati. Mau kuceritakan salah satunya? Ceritanya sederhana, tentang seorang laki-laki yang berteman akrab dengan pena, sama sepertiku, bedanya aku suka menulis, sedangkan ia suka menggambar dan melukis. Waktu itu, aku ingat sekali. Saat hari Selasa, bukannya memakai baju seragam o